Dalam benak Sunday, kalo mau bicara fashion sungguh sulit untuk tidak
teringat dengan satu nama ini: Ai Syarif. Satu siang di Restoran Midori, kami
makan bersama sambil bicara soal fashion di Indonesia.
“Mas Ai” -- Sunday biasa memanggil beliau seperti itu. Setelah 20 tahun
menjadi salah satu sosok paling di-respek di media fashion nasional, kini ia
memutuskan untuk ‘ganti sisi’. Maksudnya? Jika sebelumnya Mas Ai berada di
editorial fashion yang mengamati dan mengkritisi karya para desainer, kini
justru ia menjadi desainer itu sendiri! Seperti apa rutinitasnya kini? Sunday’s
keeping up with Ai Syarif!
Mas Ai, makan sushi nggak?
Makan, kok. Saya selalu pesan sushi di sini.
Lagi sibuk apa hari-hari ini Mas?
Sekarang kesibukannya berkisar di label Ai Syarif 1965. Sebelumnya
memang line ini khusus untuk pria, tetapi dalam waktu dekat akan dikeluarkan
juga koleksi wanitanya. Selain itu saya juga melatih tari, mengelola progam Warna
Indonesia (sebuah misi budaya yang mengirim anak-anak muda Indonesia untuk
menampilkan tari Indonesia di festival kesenian luar negeri), dan ada juga
sekolah talenta The Sun Pro yang dikelola oleh adik saya.
Ceritain dong Mas soal Ai Syarif 1965...
Label ini karakternya ‘notable, personal and timeless’ -- saya suka
mengangkat individualisme dalam arti tiap look bisa punya karakter yang berbeda
tapi tetap kelihatan satu koleksi. Mengamati koleksi fashion untuk pria di
Indonesia, saya kok merasa pilihannya terlalu terbatas dan kurang dieksplorasi.
Maka Ai Syarif 1965 menghadirkan pakaian pria yang mudah di mix-and-match
dengan sentuhan motif tradisional Indonesia.
Mas Ai kelihatannya tertarik mengangkat kain tradisional Indonesia ya
Negara kita itu diberkati dengan kain tradisional yang sangat kaya, tapi
sayang yang kurang adalah skill untuk mengolahnya. Sebagai orang Indonesia saya
mau dong kekayaan budaya kita lebih dikenal. Untuk itu, saya selalu memakai
kain tradisional Indonesia seperti tenun, batik dan lurik yang dibuat oleh industri
lokal ataupun UKM. Kain-kain ini diolah menjadi koleksi ready-to-wear.
Skill untuk mengolah kain itu seperti apa ya?
Misalnya desainer mengambil kain lurik, terus langsung diolah begitu
saja. Sebaiknya kainnya diproses lagi, gimana caranya biar lebih istimewa. Kita
tahu, lurik bahannya nggak terlalu mahal, nah tantangannya gimana agar dia
kelihatan lebih mewah.
Kenapa tema koleksinya ‘Individualisme’?
Saya menciptakan tren sendiri, tanpa bergantung dengan ‘aturan’ fashion
yang sedang tren saat ini. Hal ini saya lakukan untuk mendapat gaya personal
yang segar dan individual.
Menurut Mas Ai, desainer yang baik itu...
Tanggung jawab desainer adalah melayani kliennya. Kita nggak hanya bikin
baju, tapi juga harus memberi masukan. Kalau memang bentuk tubuh klien tidak
cocok dengan baju kita, nah harus bias menutupi kekurangan klien. Desainer
nggak boleh memaksakan idealisme sendiri, bajunya harus bisa dimodifikasi
sesuai tubuh klien. Jangan asal mau jual baju, terus bilang cocok-cocok saja.
Misalnya, ada klien yang lehernya nggak terlalu panjang tapi berminat sama
koleksi kita yang kerahnya tinggi. Nah, kita harus bilang terus terang: kamu
kan lehernya nggak panjang, agar lebih bagus saya buat kerahnya nggak terlalu
tinggi ya. Intinya, kita harus menghargai klien agar dia tampil bagus pakai
baju kita.
Pendidikan fashion itu penting nggak sih? Atau otodidak bisa?
Menurut saya pendidikan fashion itu penting ya. Dulu aku ambil kelas di
Esmod. Soalnya jangan sampai kita dibohongin sama penjahit atau tukang pola
kita. Jarang ada yang otodidak. Lagi pula seorang desainer kan nggak hanya
membuat, tapi juga menjual. Dia harus bisa menghitung ongkos produksi, dll. Oh
iya, tapi Kanaya Tabitha itu salah satu contoh desainer yang otodidak.
Mas Ai sendiri punya merk favorit?
Saya suka koleksi Dsquared dan Dolce & Gabbana.
So that’s our lunch. Baca lebih banyak paparan Mas Ai
mengenai segala hal yang terjadi di balik catwalk fashion dalam Sunday Mei
2013. Coming out soon at your schools! :D
0 comments:
Dí lo que piensas...